Vitinha Dibuang Wolves, Jadi Raja di Paris Begini Cara Menaklukkan Eropa
Musim 2024/25 berubah jadi panggung pembuktian bagi Vitinha — gelandang mungil Portugal yang sebelumnya sempat dianggap gagal. Kini, ia tampil sebagai jantung dari skuad Paris Saint-Germain yang mendominasi Eropa.
Saat nama-nama besar seperti Kylian Mbappe dan Ousmane Dembele menyedot perhatian media, Ia justru mencuri sorotan karena konsistensi dan transformasinya yang luar biasa. Bahkan legenda Belanda, Ruud Gullit, ikut angkat topi.
“Dulu dia tak cukup bagus untuk Wolves, sekarang dia pemain terbaik di PSG,” kata Gullit blak-blakan di Laureus World Sports Awards.
Babak Awal: Ketika Inggris Tak Memberi Panggung
Pada tahun 2020, Wolves secara mengejutkan mendatangkan Vitinha dari FC Porto lewat skema pinjaman dengan opsi beli. Sayangnya, pelatih Nuno Espirito Santo tak memberinya banyak kepercayaan.
Meski Vitinha menunjukkan potensi, Nuno lebih mengandalkan dua gelandang Portugal lainnya: Ruben Neves dan Joao Moutinho. Alhasil, ia hanya memulai tujuh pertandingan di semua kompetisi.
Namun alih-alih tenggelam, ia memilih belajar dari keterbatasan itu. Ia mengubah kekecewaan menjadi motivasi.
Langkah Nekat yang Berbuah Manis
Fernando Marcal, mantan rekan setimnya di Wolves, masih ingat ketika Vitinha berbicara penuh keyakinan, “Saya akan kembali ke Porto, tampil luar biasa, lalu bergabung dengan klub top Eropa.”
Awalnya, Marcal mengira ucapan itu hanya mimpi. Tapi ia membuktikannya. Ia langsung tampil mengesankan bersama Porto, memimpin lini tengah dan membawa klub itu menjuarai dua gelar domestik.
Melihat performa itu, PSG langsung bergerak cepat. Mereka menebus Vitinha seharga €41,5 juta — sebuah lompatan besar hanya dalam waktu satu musim.
Ujian Baru di Paris: Mental Baja di Tengah Bintang
Setibanya di Paris, Vitinha langsung menghadapi tantangan besar. Ia harus berbagi ruang ganti dengan para superstar seperti Lionel Messi, Neymar, dan Mbappe — pemain-pemain yang tak selalu mau membantu dalam bertahan.
Dalam satu momen panas, ia memilih mengoper ke Messi alih-alih Mbappe. Keputusan itu memicu reaksi keras dari sang striker. Namun insiden itu justru menunjukkan mental baja Vitinha dan memicu perubahan kultur tim: dari individualistis menjadi kolektif.
Transformasi PSG di Era Luis Enrique
Kehadiran Luis Enrique pada 2023 menjadi momen krusial. Sejak awal, Enrique langsung menyatakan kepercayaannya kepada Vitinha dan menunjuknya sebagai salah satu pemain utama dalam skema tim.
Vitinha merasa nyaman dengan pendekatan Enrique yang terbuka dan tegas. “Pelatih ini jujur. Dia memberi tahu saya langsung apa yang dia pikirkan. Itu sangat membantu,” ujar Vitinha dalam wawancara.
Dengan dukungan penuh Enrique, Vitinha menjelma menjadi pusat permainan PSG — bukan hanya sebagai pengatur tempo, tapi juga pemimpin taktis yang menghubungkan seluruh lini.
Statistik Bicara: Vitinha Bukan Sekadar Pelengkap
Secara statistik, kontribusinya mencengangkan:
- Ia menyelesaikan 1.965 umpan sukses di Liga Champions selama dua musim terakhir.
- Akurasi umpannya mencapai 93,71 persen, angka luar biasa untuk seorang playmaker.
- Ia menciptakan 42 peluang, setara dengan Vinicius Jr.
- Ia merebut bola sebanyak 159 kali (peringkat kedua) dan melakukan 34 intersepsi (peringkat ketiga).
Luis Enrique pun tak ragu memujinya: “Vitinha memainkan peran paling kompleks di lini tengah. Dia kuat secara fisik dan mental, serta nyaris tak pernah kehilangan bola.”
Akhirnya: Dari Gagal di Inggris Menjadi Raja Eropa
Perjalanan Vitinha menunjukkan satu hal penting: kegagalan bukan akhir, melainkan batu loncatan. Saat Wolves menolaknya, ia menjawab dengan gelar, dominasi, dan pengaruh nyata di klub sebesar PSG.
Kini, Vitinha tak hanya jadi jenderal lini tengah PSG. Ia menjadi simbol ketekunan, kerja keras, dan keyakinan tak tergoyahkan — contoh nyata bahwa mimpi besar bisa jadi kenyataan jika diperjuangkan dengan gigih.
