FIFA Dikecam Setelah Langgar Aturan Sendiri demi Halftime Show Mewah di Final Chelsea vs PSG
FIFA menyulap final Piala Dunia Antarklub 2025 menjadi panggung spektakuler di MetLife Stadium, New Jersey, saat Chelsea mengalahkan Paris Saint-Germain 3-0 pada Senin (14/7) dini hari WIB. Mereka tidak hanya menggelar pertandingan, tapi juga memunculkan debut halftime show ala Super Bowl untuk pertama kalinya dalam sejarah turnamen ini.
Merka menghadirkan Doja Cat, J Balvin, Tems, dan Coldplay ke tengah lapangan. Para artis itu menghibur puluhan ribu penonton di stadion dan jutaan pemirsa di layar kaca. Namun, pertunjukan tersebut langsung memicu gelombang kritik karena Mereka mengabaikan aturan dasar permainan demi kepentingan hiburan.
Aturan Sudah Jelas, Tapi FIFA Tetap Melanggarnya
Mereka memperpanjang durasi jeda babak pertama menjadi 24 menit, padahal IFAB (International Football Association Board) secara eksplisit menetapkan batas maksimal 15 menit dalam Pasal 7.2 Laws of the Game. Dalam dokumen tersebut, IFAB menulis:
“Pemain berhak atas jeda babak pertama yang tidak melebihi 15 menit.”
Keputusan ini jelas bertentangan dengan regulasi yang berlaku. Martyn Ziegler, jurnalis olahraga senior dari The Times, langsung mengkritik keputusan itu di media sosial X:
“Apa gunanya FIFA menjunjung tinggi Laws of the Game jika mereka sendiri melanggarnya demi 24 menit pertunjukan Infantino?”
FIFA Tak Bisa Bertindak Sepihak dalam Mengubah Aturan
Meski FIFA sering tampil dominan dalam penyelenggaraan kompetisi global, mereka tetap harus tunduk pada IFAB dalam urusan perubahan aturan permainan. IFAB memiliki delapan suara—empat dipegang oleh Mereka dan empat lainnya berasal dari asosiasi sepak bola Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.
IFAB hanya akan mengubah aturan jika enam dari delapan suara menyetujuinya. Sampai sekarang, tidak ada keputusan resmi dari IFAB yang memperbolehkan jeda pertandingan lebih dari 15 menit.
FIFA Pilih Komersialisasi, Bukan Kepatuhan?
FIFA secara sadar mengorbankan aturan demi kepentingan showbiz. Mereka tidak hanya menambah waktu jeda tanpa dasar hukum, tapi juga mengirim pesan bahwa hiburan bisa menggeser esensi sepak bola itu sendiri. Para pengamat menilai sembilan menit tambahan itu bisa menciptakan preseden berbahaya untuk masa depan kompetisi.
Jika FIFA merasa bebas mengubah aturan seenaknya, maka fondasi hukum yang melindungi integritas pertandingan akan terancam. Pertanyaannya kini, siapa yang bisa menghentikan penyalahgunaan wewenang seperti ini?
Piala Dunia 2026 Bisa Jadi Lahan Eksperimen Berikutnya
Final Chelsea vs PSG menunjukkan arah baru FIFA dalam mengemas sepak bola sebagai produk hiburan Amerika-style. Dengan Piala Dunia 2026 yang akan berlangsung di AS, Kanada, dan Meksiko, banyak pihak khawatir FIFA akan terus membawa budaya Super Bowl ke dunia sepak bola.
Kalau tren ini berlanjut, sepak bola internasional tak hanya akan berubah formatnya, tapi juga identitasnya.
Gianni Infantino Jadi Simbol Kritik
Presiden FIFA Gianni Infantino tak luput dari sorotan. Banyak pengamat dan publik mempertanyakan kepemimpinannya yang tampaknya lebih memprioritaskan pertunjukan dan bisnis ketimbang konsistensi dan etika pertandingan.
FIFA di bawah Infantino terus menambah jumlah peserta turnamen, memperluas kalender kompetisi, dan kini—secara terang-terangan—melanggar aturan demi konser.
Sepak Bola atau Showbiz? Publik Mulai Bertanya
Pertunjukan besar di final ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah FIFA masih menempatkan sepak bola sebagai pusat utama, atau kini hanya menjadikannya latar belakang bagi agenda hiburan dan sponsor?
Jika FIFA sendiri tak lagi mengikuti aturan yang mereka suarakan ke dunia, maka siapa yang akan memastikan sepak bola tetap jujur dan murni?
