
Eric Cantona Ketika Kejeniusan Bertemu Amarah, Kisah Raja Old Trafford Sang Legenda Manchester United
Eric Cantona, Di era keemasan Liga Inggris pada 1990-an, nama nya menggema lebih keras dari sekadar pesepakbola biasa. Ia adalah ikon. Sosok flamboyan yang tak hanya memikat lewat umpan brilian dan gol memukau, tetapi juga karena sikap temperamental dan aura misteriusnya. Ia bukan hanya bintang di lapangan, ia adalah pertunjukan itu sendiri. Bagi para pendukungnya, Eric Cantona adalah dewa sepak bola. bagi lawannya, ia adalah badai tak terduga. Nikmati juga permainan terbaik dari kami hanya di ZEUSBOLA!!
Profil Singkat Sang Maestro
- Nama Lengkap: Eric Cantona
- Lahir: 1966
- Negara Asal: Prancis
- Posisi: Penyerang
Perjalanan Klub
- AJ Auxerre (1983–1988)
- Olympique Marseille (1988–1991)
- Nîmes Olympique (1991)
- Leeds United (1992)
- Manchester United (1992–1997)
Statistik Karier Klub:
🟢 308 pertandingan
⚽ 131 gol
Tim Nasional Prancis:
🟢 45 pertandingan
⚽ 20 gol
Talenta Besar yang Sulit Dijinakkan
Karier profesional Cantona dimulai di Auxerre, tempat ia menunjukkan bakat luar biasa meskipun berulang kali tersandung masalah disiplin. Ia sempat diskors karena insiden menyerang rekan satu timnya, pertanda awal bahwa sepak bola akan menjadi panggung dramatis, bukan sekadar permainan, bagi Cantona.
Pada 1988, ia bergabung dengan klub masa kecilnya, Olympique Marseille. Namun, bukannya menapaki karier mulus, Cantona justru meledak di tengah pertandingan setelah digantikan, dan secara terbuka mencaci pelatih nasional di televisi. Hal ini membuat klub kehilangan kesabaran.
Pembuangan dan Titik Balik
Cantona lalu dipinjamkan ke Bordeaux, kemudian ke Montpellier, di mana ia membantu klub meraih Coupe de France. Meski sempat kembali ke Marseille, konflik dengan ketua klub Bernard Tapie membuatnya hengkang ke Nîmes. Namun, kontroversi tak berhenti, saat marah terhadap keputusan wasit, Cantona melempar bola ke arahnya. Setelah menghina federasi sepak bola, masa skorsnya diperpanjang, tanda bahwa kariernya di Prancis hampir tamat.
Lahirnya Legenda
Michel Platini, pelatih timnas saat itu, menyarankan Cantona mencari awal baru di Inggris. Ia menuruti saran tersebut dan bergabung dengan Leeds United pada 1992. Ia segera menjadi pahlawan, membantu klub memenangkan gelar Divisi Pertama terakhir sebelum lahirnya Premier League.
Sayangnya, hubungannya dengan pelatih Howard Wilkinson memburuk. Cantona meminta transfer, dan Manchester United tak menyia-nyiakan peluang emas itu.
Cantona Jadi Raja Teater Impian
Bergabung dengan Manchester United pada akhir 1992, Cantona langsung menjadi katalisator kebangkitan tim. United, yang semula kesulitan mencetak gol, menjelma jadi mesin kemenangan. Ia mencetak gol demi gol, dan United mengakhiri musim dengan menjuarai liga, unggul sepuluh poin.
Musim berikutnya, Cantona mencetak 28 gol di semua kompetisi. Ia bukan sekadar penyerang, ia adalah pengatur tempo, pencipta ruang, dan pemimpin karismatik di lapangan.
Tendangan Kung-Fu yang Menghentak Dunia
Namun, puncak karier Cantona juga membawa skandal terbesar. Pada Januari 1995, setelah menerima kartu merah dalam laga melawan Crystal Palace, ia melakukan hal tak terduga dengan menendang seorang suporter di tribun. Insiden “kung-fu kick” itu menjadi berita utama global.
Akibatnya, otoritas menjatuhkan larangan bermain selama delapan bulan kepada Cantona, dan ia hampir masuk penjara. Namun, mereka akhirnya mengurangi hukuman tersebut menjadi kerja sosial. Sejak saat itu, karier internasionalnya berakhir.
Kembalinya Sang Raja dan Perpisahan yang Tak Terduga
Meski skandal itu bisa saja menghancurkan karier siapa pun, Cantona bangkit. Manchester United berdiri di belakangnya. Ia kembali pada musim 1995/96, membantu klub meraih dua gelar Premier League tambahan sebelum secara mengejutkan pensiun di usia 30 tahun.
Dalam 143 pertandingan untuk United, ia mencetak 64 gol. Namun, lebih dari itu, ia menciptakan warisan, sebuah era keemasan yang dimulai sejak kedatangannya.
Warisan Abadi di Old Trafford
Cantona tak pernah menjadi pemain yang sempurna, tapi justru itulah yang membuatnya abadi. Ia menggabungkan kejeniusan dengan kekacauan, ketenangan dengan letupan. Ia mengubah Manchester United dari tim yang biasa menjadi raksasa Eropa, dan menginspirasi generasi pemain serta penggemar sepak bola di seluruh dunia.