
George Best, Si Jenius Sepak Bola yang Dihancurkan Oleh Gaya Hidupnya Sendiri
George Best bukan sekadar pemain, tetapi simbol budaya dan zaman. Dalam sejarah panjang sepak bola dunia, hanya sedikit nama yang mampu membius penonton dengan campuran sempurna antara keahlian teknis, kharisma personal, dan daya tarik luar biasa di dalam dan di luar lapangan.
Lincah bagai angin, insting golnya menakjubkan, dan dribel-nya seperti seni yang hidup. George Best tidak bermain bola, ia menari di atas rumput hijau, meninggalkan lawan dalam kebingungan dan penonton dalam kekaguman. Di era keemasannya, ia membentuk trio legendaris bersama Bobby Charlton dan Denis Law, yang dikenal sebagai “Holy Trinity” Manchester United. Bersama, mereka tak hanya menorehkan sejarah, tetapi juga membalut luka masa lalu, mengantarkan klub meraih Piala Eropa pertama mereka pada 1968, sepuluh tahun pasca tragedi Munich yang mengguncang klub.
Awal dari Sebuah Legenda: “Saya pikir saya menemukan seorang jenius”
Bakat Best sudah tercium dari awal. Saat baru berusia 15 tahun, Bob Bishop (pencari bakat United) mengirimkan pesan yang kini melegenda kepada manajer Matt Busby: “Saya pikir saya menemukan seorang jenius.” Dua tahun kemudian, sang anak ajaib dari Belfast resmi menjalani debut profesional pada usia 17 tahun. Dalam waktu singkat, ia menjadi tulang punggung tim utama, mengantar United merebut gelar Divisi Pertama pada musim 1964/65.
Penampilannya di laga perempat final Piala Eropa 1966 melawan Benfica benar-benar mengubah segalanya. Dua gol dicetak, dan publik Portugal pun jatuh cinta. Media pun menjulukinya “El Beatle” karena pesona Best menyamai kepopuleran The Beatles. Dengan gaya rambut khas, pakaian modis, dan kepercayaan diri yang nyaris sombong, Best menjelma menjadi simbol budaya muda era 60-an. Ia bukan cuma atlet; ia adalah ikon.
Puncak dan Jurang Kehidupan
Tahun 1968 menjadi tahun emas. United mengangkat trofi Piala Eropa, dan Best dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Eropa (Ballon d’Or) semuanya terjadi sebelum usianya menyentuh 23 tahun. Ia adalah wajah baru sepak bola Inggris, digilai para penggemar, dan menjadi inspirasi bagi generasi muda.
Namun, kehidupan glamor yang awalnya tampak seperti hadiah, lambat laun menjadi kutukan. Popularitas Best menarik perhatian media, bukan karena aksinya di lapangan, tapi karena pesta malam, botol-botol alkohol, dan kisah cinta yang jadi konsumsi publik. Ia adalah pahlawan yang perlahan runtuh di tengah sorotan.
Salah satu kilas balik kejayaan terakhirnya terjadi pada 1970, saat ia mencetak enam gol dalam satu laga melawan Northampton Town, menyamai rekor dari tahun 1911. Tapi seiring waktu, kejayaan itu menjadi langka. United tak lagi berjaya, dan semangat Best ikut memudar. Pada 1974, ia resmi meninggalkan klub yang telah membesarkan namanya, mencatat 179 gol dari 470 penampilan, angka luar biasa, tapi juga akhir yang pahit.
Hidup Setelah Old Trafford dan Kejatuhan Terakhir
Setelah pergi dari United, Best menjadi pengembara sepak bola. Ia berpindah dari satu klub kecil ke klub lain di Skotlandia, Amerika Serikat, Irlandia, hingga Afrika Selatan. Tapi kejayaan yang dulu bersinar tak pernah kembali. Hidupnya menjadi fragmen-fragmen dari pesta larut malam, skandal, dan alkoholisme yang tak terkendali.
Di level internasional, ia membela Irlandia Utara 37 kali dan mencetak sembilan gol. Namun, mimpi tampil di panggung Piala Dunia tak pernah menjadi nyata. Dan saat tubuhnya mulai menyerah pada kebiasaan buruk yang tak kunjung hilang, legenda itu pun menutup kisah hidupnya pada 25 November 2005, karena kegagalan organ yang dipicu oleh alkoholisme. Ia meninggal di usia 59 tahun.
Warisan Seorang Jenius yang Tragis
Banyak yang bertanya, “Apa jadinya George Best jika ia memilih jalan hidup yang lebih tertib?” Tapi pertanyaan itu tak akan pernah memiliki jawaban pasti. Yang jelas, ia tetap menjadi legenda. Ballon d’Or 1968, posisi ke-16 dalam daftar pemain terbaik abad ke-20 versi IFFHS, dan tak tergantikan dalam hati para penggemarnya.
Seperti katanya sendiri, dengan gaya khasnya yang nyeleneh:
“Saya menghabiskan banyak uang untuk minuman, wanita, dan mobil cepat. Sisanya saya buang-buang.”